Cerpen "Terima Kasih Ayah"
Birunya langit menandakan betapa indahnya sebuah pengharapan. Desiran angin yang menyapa mengingatkan akan sebuah kerinduan. Panaroma ombak yang bergantian satu demi satu melebur ketepian semakin menambah kesyahduan. Hamparan pasir putih menjadi alas duduk ditengah syahdunya pemandangan. Pantai Jepara nampaknya selalu menjadi candu. Tempat berlibur paling menyenangkan bagi keluarga kami.
Entah mengapa aku suka sekali duduk disini. Diatas pasir putih yang menjadi perbatasan antara dalamnya laut dan luasnya daratan. Namaku Dhea. Teman-temanku biasa memanggilku Dhe. Aku berasal dari Semarang. Semarang adalah kota kelahiranku. Aku lahir dan dibesarkan disini. Saat ini aku dan keluarga tengah berlibur di Jepara, rumah kakek dan nenek ku.
Hari ini tepat satu bulan aku keluar dari rumah sakit. Satu bulan yang lalu aku terbaring lemah tak berdaya diatas ranjang kasur RSUD Semarang. Berjuang diantara kritisnya hidup dan mati. Sudah satu minggu lebih panas yang ada dalam tubuhku tak kunjung turun. Ayah dan Ibu sangat bingung karena obat yang masuk sama sekali tidak memberikan efek pada panasku. Akhirnya Ayah mememriksakanku ke dokter yang berbeda. Dua hari setelah itu, panasku pun turun dan aku bisa beraktifitas seperti biasanya bersekolah dan bermain bersama teman-teman sebaya.
Tiga hari kemudian selepas aku pulang
sekolah tiba-tiba panasku naik lagi. Kali ini lebih tinggi. Karena obat yang
sebelumnya masih maka Ayah dan Ibu memberiku obat itu. Tapi setelah dua hari
panasku tidak juga turun malah bertambah lebih tinggi. Ayah segera membawaku ke
dokter lagi. Dokter tidak berkata apa-apa tentang panasku yang semakin tinggi.
Ia hanya memberiku obat seperti biasa.
Malam harinya aku sama sekali tidak
bisa tidur. Panasku justru semakin tinggi. Kemudian malam itu pula karena saran
dari teman Ayah, Ayah membawaku ke dokter yang berbeda. Dokter kali ini
langsung merujukku ke rumah sakit karena aku yang sudah terbaring lemah dengan
panas yang semakin tinggi dan Hb yang sangat rendah. Dokter bilang aku kena
demam berdarah dan sudah harus dirujuk ke rumah sakit dari kemaren. Mataku
benar-benar sangat sayu dan aku sudah tidak kuat lagi untuk berdiri. Dokter
bilang kalau saja malam ini aku terlambat dibawa ke rumah sakit mungkin saja
esoknya aku tiada karena panas yang memang semakin tidak wajar.
Mendengar ucapan dokter Ayah kaget
karena dokter sebelumnya tidak berkata apa-apa perihal tersebut. Secepat
mungkin Ayah membawaku pulang, mempersiapkan pakaianku lalu membawaku ke rumah
sakit di Jepara, RSUD Kartini. Jarak rumah sakit dan rumahku lumayan jauh dan
harus ditempuh dengan jangka waktu satu jam perjalanan. Ditengah perjalanan
kemudian aku sudah tidak sadarkan diri. Ayah dan Ibuku sangat panik.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung
ditangani di UGD. Tidak hanya satu dokter yang menanganiku tapi tiga dokter
karena infus sudah sulit untuk dimasukkan ke dalam aliran darahku. Setelah
berkutik selama beberapa jam akhirnya segala alat-alat medis terpasang dalam
tubuhku. Aku masih tidak juga sadarkan diri waktu itu. Ibu hanya menangis
melihatku terbaring lemah seperti itu.
Dokter pun keluar dari UGD dan bilang
pada Ayah kalau segera mungkin aku harus ditransfusi darah kurang lebih 12
kantung karena Hb ku sudah sangat rendah. Golongan darahku AB. Sementara stok
kantung bergolongan darah AB sudah habis. Dokter bilang Ayah harus mencari ke
PMI terdekat.
Malam itu juga dengan wajah yang sangat
lelah dan penuh khawatir Ayah berangkat mencari transfusi darah untukku. Karena
memang stok darah AB di rumah sakit tinggal sedikit, esoknya Ayah
berangkat keliling Semarang dan kota sebelah untuk mencari stok darah untukku.
Dua belas kantung darah hasil
perjuangan Ayah untukku. Satu per satu mulai terpasang pada tangan kananku. Dua
hari setelah itu aku mulai sadarkan diri dan berhasil keluar dari fase kritisku.
Rasanya sakit sekali dengan berbagai alat medis dan jarum yang ada dalam
tubuhku. Tapi rasa itu hilang saat kulihat senyum dari wajah Ibu untukku.
Setelah melewati masa-masa kritis, aku
harus pemulihan kondisiku disana. Hari-hari kulewati dengan sangat membosankan
karena aku hanya bisa terbaring diatas kasur. Sekali pun keluar ruangan untuk
jalan-jalan aku harus naik kursi roda. Aku sangat ingin pulang. Tiba-tiba aku
teringat adik kecilku yang masih berumur satu tahun. Aku ingin pulang. Aku
rindu adikku. Namun dokter bilang aku harus memulihkan kondisiku dulu.
Hari-hari selanjutnya, kesehatanku
mulai membaik. Aku tidak perlu lagi menggunakan kursi roda. Aku sudah bisa
berjalan. Aku sangat ingin pulang tapi dokter bilang aku harus memulihkan
keadaan dulu. Aku sudah sangat bosan dan rindu sekali dengan adik kecilku. Aku
kemudiaan memaksa pulang. Ayahku menurutiku. Namun permasalahannya sekarang
bukan boleh tidaknya aku pulang. Tapi bagaimana Ayah menyelesaikan
administrasiku selama di rumah sakit. Biaya yang dikeluarkan sudah pasti tidak
sedikit.
Aku tahu Ayah sangat berjuang untuk itu. Entah dari mana uang itu aku tidak tahu. Yang pasti Ayah tidak mungkin punya uang sebanyak itu. Ayah sama sekali tidak mengatakan apapun padaku. Beberapa hari setelah itu aku menyadari sesuatu. Ayah menjual motor kesayangannya untukku. Untuk membiayai rumah sakitku. Ayah, sungguh dalam diammu engkau banyak mengorbankan dirimu untukku. Tanpamu mungkin aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. Sungguh tiada yang bisa kubalas atas itu.
.
Posting Komentar untuk "Cerpen "Terima Kasih Ayah""